BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 29 Maret 2009

Manusia Serakah,Harimau Pun Marah

KOMPAS.com - Dua bulan terakhir adalah masa yang menegangkan bagi warga Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dan warga Desa Sungai Gelam, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

Serangan harimau telah menewaskan sembilan orang di hutan dekat desa mereka. Rentetan peristiwa mengerikan yang tak pernah mereka alami sebelumnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Tamat (40) pun mulai menghidupkan genset untuk penerangan rumahnya. Anak dan istrinya berada di dekatnya, bersiap-siap menutup pintu. Sejumlah tetangga juga berkumpul di situ.

Sejak dua bulan terakhir, saat petang tiba, mereka menghentikan aktivitas di luar rumah. Mereka menyalakan lampu dan menutup pintu rapat-rapat.

Semuanya itu terpaksa mereka lakukan sejak sembilan orang ditemukan tewas akibat serangan harimau di hutan dekat desa mereka. Mereka khawatir Si Raja Hutan keluar dari sarangnya yang sudah tercabik-cabik oleh tangan pembalak. ”Kami sendiri sebenarnya belum pernah melihat harimau itu. Kenyataannya, sudah ada yang mati karena terkaman. Dan, semuanya terjadi pada malam hari. Kami takut,” ujar Guntur (35), warga Desa Muara Medak.

Bila petang tiba, Desa Muara Medak terlihat seperti desa mati. Tak ada warga yang berani keluar rumah untuk bermain kartu domino bersama, misalnya.

Dari 50 keluarga yang pernah tinggal di desa tersebut, kini tinggal 20 keluarga. Yang lain mengungsi ke desa yang jauh dari hutan.

Pekerja kebun kelapa sawit dan karet yang biasanya pulang hingga larut malam kini sebagian besar memilih ikut mengungsi. Sesekali terlihat pembalak kayu yang nekat mengambil kayu.

Dari sembilan kasus terkaman harimau terhadap manusia, lima terjadi di hutan yang masuk wilayah Desa Muara Medak. Sisanya, dua kasus di Desa Sungai Gelam dan hutan dekat Kungpe Hilir, Muaro Jambi. Hutan tersebut berada di satu kawasan dan membentang seluas lebih dari 100.000 hektar di perbatasan Sumsel-Jambi.

Konflik harimau versus manusia juga terjadi di Nagari Durian Tinggi, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Tertangkapnya Syarfuddin (53) oleh aparat dari Markas Kepolisian Sektor Kapur IX, akhir Februari 2009, saat hendak menjual kulit dan tulang belulang harimau yang tewas diracuninya di hutan kepada pedagang, menguak fakta bahwa kerusakan hutan di Sumatera begitu luas cakupannya.

Berdasarkan laporan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera yang dikeluarkan Departemen Kehutanan tahun 2007, mengutip data ekspor ilegal tulang harimau sumatera, jumlahnya mencapai 3.994 kilogram ke Korea Selatan pada kurun 1970-1993.

Di Desa Sungai Gelam, Jambi, selain hutan yang membentang, juga ada 42 sumur minyak dan sejumlah lapangan gas yang dikelola Pertamina. Tak salah bila desa itu disebut daerah kaya sumber daya alam.

Namun, kekayaannya tak berimbas pada kesejahteraan warga setempat. Penduduk desa itu umumnya tetap miskin dan terisolasi. Belum semua jalan beraspal, banyak sekali rumah tak beraliran listrik. Kondisi kian mengenaskan sejak jatuhnya harga sawit.

Kekayaan alam di desa itu dinikmati pengusaha, tauke, aparat, dan pembalak dari luar desa.

Sebagian besar warga yang tinggal di desa-desa tersebut adalah pendatang, khususnya transmigran dari Jawa Timur. Mereka datang dalam kurun 1990-2001. Umumnya mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit dan karet milik perusahaan swasta. Ada pula warga yang mengolah lahan sendiri.

Desa-desa tersebut juga sering didatangi pencari kayu hutan atau pembuka lahan sawit dari luar daerah, seperti Jambi dan Palembang. Mereka bekerja secara perorangan. Ada pula yang bekerja untuk tauke. Ada yang tinggal di pinggir hutan dengan rumah bedeng, ada yang menumpang di rumah warga.

Jumlah mereka kian banyak sejak enam bulan lalu seiring dengan masuknya sebuah perseroan terbatas (PT) kayu lapis ke hutan.

Suryanto (46), tokoh Desa Sungai Medak, mengungkapkan, tiap hari sekitar 100 truk masuk keluar hutan untuk mengangkut kayu. Sebagian besar truk-truk itu terkait dengan PT tersebut.

Aktivitas PT tersebut mengundang pembalak liar ikut menjarah hutan. Mereka membabat lahan hutan konservasi di luar hutan tanaman industri yang dibabat PT tersebut. Ada pula orang-orang dari luar desa yang membuka ladang sawit dan karet di atas lahan bekas tebangan hutan. Mereka mengapling begitu saja lahan-lahan itu untuk kemudian ditanami kelapa sawit.

Sujianto Basir (46), Kepala Dusun Sungai Gelam, Desa Sungai Gelam, mengungkapkan, orang yang menanam lahan sawit di bekas lahan hutan ini adalah para tauke. Ada yang menjadikannya sebagai lahan sawit dan merawatnya, ada pula yang hanya menanaminya untuk dijual. Harganya cuma Rp 40 juta untuk 2 hektar lahan sawit meski tanpa sertifikat karena status lahannya tak jelas.

Menurut Suryanto, para penanam sawit cuma perlu izin dari warga setempat dan kepala desa, lalu mereka bisa mematok dan menanam. Tak sedikit dari mereka adalah aparat pemerintah. ”Mereka menanam begitu saja. Ada yang menanam sendiri, ada yang mempekerjakan orang lain,” kata Suryanto sambil menyebutkan luas hutan itu sejak enam tahun terakhir tinggal sepertiganya.

Pembabatan inilah yang merusak sarang harimau sumatera yang konon berada di Pal 18 hingga Pal 25 hutan Desa Muara Medak dan Muara Merang.

Pemimpin spiritual India, Mahatma Gandhi, pernah berucap, Bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tetapi bukan untuk kerakusan. Barangkali, serangan harimau itu merupakan balasan setimpal atas kerakusan tersebut.

Sumber : KOMPAS

0 komentar: